penerapan azas legalita dalam hukum pidana



<>


PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana atau konstitusi masing-masing negara, merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan demi kepastian hukum. Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asa legalitas, maka asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik. Dalam perkembangan selanjutnya asas legalitas disimpangi di beberapa negara, antara lain Rusia, Jerman dan bahkan Belanda. Seperti dipahami, bahwa makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut. Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya makna asas legalitas:   pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana sebelum  dinyatakan dalam suatu aturan  undang-undang;  kedua.  Semua  perbuatan  yang  dilarang  harus  dimuat  dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya; ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Makna sebagaimana tersebut diatas merupakan asas legalitas formil, seperti dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Asas ini menekankan, bahwa dasar untuk menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang. Menurut Barda Nawawi, penerapan asas legalitas dalam KUHP warisan Belanda dalam konteks ke-Indonesiaan (sistem hukum nasional) seharusnya juga jangan diartikan semata-mata sebagai kepastian/kebenaran/keadilan formal (UU), tetapi harus lebih menukik pada kepastian/kebenaran/keadilan nilai-nilai substantif. Dalam pembaharuan hukum pidana kedepan, sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana,tidak hanya didasarkan pada asa legalitas formal, tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis.

  1.2. Rumusan masalah
1.   Bagaimana definisi dan peran asas legalitas?
2. Bagaimana penerapan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia ?


1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalaah sebagai berikut :
1. menjelaskan definisi serta peran asas legalitas
2. menguraikan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia


  PEMBAHASAN

2.1. Pengertian asas legalitas
             Jonkers yang dikutip oleh Edddy O.S, menyatakan bahwa Pasal 1 ayat  (1)  KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan Undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukan merupakan peraturan hukum konkrit. Selanjutnya menurut Tongat, Pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung pengertian bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang hanya dapat diberlakukan terhadap suatu tindak pidana yang terjadi sesudah ketentuan pidana dalam undang-undang itu diberlakukan, dengan kata lain, ketentuan pidana dalamundang-undang itu hanya berlaku untuk waktu kedepan.

             Selanjutnya menurut Moeljatno, asas legalitas (Principle of legality) adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Menurut WirjonoProdjodikoro,  bahasa latin yang berbunyi nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali diartikan tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana atau ahli hukum di atas, terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa  asas legalitas yang dikenal dengan bahasa latin sebagai nullum delictum , nulla puna sine praevia lege punali memiliki pengertian yaitu tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. Ketentuan ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah defenisi baku dari asas legalitas. 


    2.2.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia            
            Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu  dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).

            Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukumpidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum. Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan didepan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara
Tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II  Pasal 28 I ayat (1) yangmenyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang  berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundangundangan.”

2.3. Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia
            Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan colonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan  diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP.
           
            Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, menurut Mudzakkir, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkanditerapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP. Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan Belanda.

            Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan  Belanda. Di awal-awal kemerdekaan, peradilan-peradilan adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboekvan Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut. Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, menurut Mudzakkir, yang menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai penyimpangan asas legalitas. Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum  adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukum-hukum yang tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis.

Comments

Popular Posts